Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme” menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.
Wacana Pertama: Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan
Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.
Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805 dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani.
Di Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan gagasan sekularismenya.
Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini.
Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab
Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Selain kedua figur itu, ada Thaha Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama, dan mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual Kristen.
Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan. Beberapa pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela Syumayyil.
Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930), diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa dasawarsa terakhir.
Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka.
India: Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal
Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah pemikir yang paling menonjol yang menyerukan “saintifikasi” masyarakat Muslim. Seperti halnya dengan al-Afghani, ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh dari al-Afghani ia melihat adanya “kekuatan yang membebaskan” dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di antara “kekuatan pembebas” itu adalah penjelasan peristiwa dengan sebab-sebab terdekatnya, yang bersifat fisik-materiil. Di Barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari takhayul dan cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan semangat yang sama, Ahmad Khan merasa wajib “membebaskan” Muslim dengan melenyapkan unsur supranatural – yang “tak ilmiah” – dari al-Qur’an. Ia amat serius dengan upayanya ini, hingga menciptakan sendiri metode penafsiran al-Qur’an baru. Hasilnya adalah “teologi baru” yang memiliki karakter “ilmiah”.
Generasi setelah Sir Sayyid, di awal abad ke-20, adalah Mohammad Iqbal (1877-1938), salah seorang Muslim pertama di anak benua India yang sempat mengkaji pemikiran Barat modern dan mempunyai akses yang mendalam pada tradisi intelektual Islam. Kedua hal inilah yang muncul dari karya utamanya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam) diterbitkan tahun 1930. Dengan penggunaan istilah reconstruction (pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal telah tergambar. Reconstruction berarti mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan Islam dalam bahasa modern, untuk konsumsi generasi baru Muslim yang telah berkenalan dengan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20. “Bahasa modern” pun berarti bahasa konseptual yang terbentuk akibat perkembangan tersebut.
Kepeduliannya sama dengan pendahulunya, Sir Sayyid, karena keduanya menghadapi masalah yang sama. Tetapi sementara Sir Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis – dengan menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern, hingga ke tingkat perumusan ulang teologi Islam – Iqbal bergerak lebih jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari sekadar sebagai alat, tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.
Ia menunjukkan bahwa kesesuaian agama, khususnya Islam, dengan ilmu pengetahuan tak hanya ada pada permukaan dan tak pula hanya menyangkut penemuan mutakhir ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan adalah sebentuk ibadah. Karena itulah sampai tingkat tertentu, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan agama, yakni pencapaian Kenyataan Sejati. Baginya ruh Islam yang anti-klasik – yang menekankan pada hal-hal yang kongkrit, seperti yang tampak dalam revolusi intelektual melawan tradisi abstrak Yunani di masa awal perkembangan filsafat Islam – adalah serupa dengan ruh yang melahirkan ilmu pengetahuan modern. Namun, meskipun bertujuan sama, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan struktur sesuatu, dan tak mampu berbicara tentang hakikat akhir dari segala sesuatu yang memiliki struktur itu.
Untuk itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu menjelaskan gagasan filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati. Sementara ilmu pengetahuan sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang bertentangan dengan kecenderungan banyak ilmuwan modern, tak dapat menciptakan teori yang selengkapnya menggambarkan realitas. Ini karena ilmu pengetahuan adalah “kumpulan pandangan yang sepotong-sepotong tentang realitas.”
Tak berhenti di sini, Iqbal menunjukkan penguasaannya atas teori-teori fisika mutakhir masa itu dengan menunjukkan bagaimana pandangan ilmuwan seperti Einstein dan Heisenberg mesti ditafsirkan untuk mendapat gambaran utuh tentang realitas. Tujuan akhirnya, membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan temuan ilmu pengetahuan tentang realitas alam.
Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai “ilmu manusia”. Artinya, ilmu pengetahuan adalah universal dan milik umat manusia. Semua masyarakat memiliki sumbangannya masing-masing. Dalam pencarian kebenaran, setiap orang memiliki tujuan yang sama, dan menghadapi masalah yang sama. Dalam kasus peradaban Barat, Eropa telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya menjadi “peradaban modern”. Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari Eropa. Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia , dan India . Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim berbeda dengan mereka membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat dipertahankan. Hal yang sama seharusnya terjadi saat ini.
Meski beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai dasar bagi suatu epistemologi Islam kontemporer, namun dengan itu ia tak berniat menciptakan suatu “ilmu pengetahuan Islam”, yang menjadi kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.
Iran : Dari Bazargan Hingga Soroush
Sebagaimana di banyak bagian dunia Islam lainnya, gagasan Jamaluddin al-Afghani cukup berpengaruh di Iran . Dalam hal respons terhadap kemodernan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, gagasan-gagasan al-Afghani digemakan kembali oleh beberapa pemikir Muslim Iran.
Salah seorang pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l. 1904), yang lahir sekitar 10 tahun setelah wafatnya al-Afghani. Setelah pecah Revolusi Islam 1979, Bazargan menjadi perdana menteri yang pertama. Namun sesungguhnya, sebelumnya ia adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20 di Iran, pandangan yang berkembang serupa dengan di dunia Islam umumnya, yaitu bahwa hasil-hasil temuan dan penerapan ilmu pengetahuan tak bertentangan dengan Islam, tetapi justru diperlukan untuk membuat masyarakat Islam tak ketinggalan. Bazargan berusaha memberikan penegasan bahwa yang tak bertentangan dengan Islam adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen, sementara Islam dianggap sebagai jalan penyelamatan spiritual. Banyak hasil temuan ilmu pengetahuan telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal terpenting yang dikemukakan Bazargan adalah bahwa seorang Muslim dapat tetap setia kepada agamanya, dan pada saat yang sama mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Periode berikutnya ditandai dengan munculnya Ali Syari’ati (1933-1977) dan Murtadha Mutahhari (1920-1979). Keduanya adalah pemikir terpenting Iran di zaman modern. Sebagai ideolog, tema terpenting Syari’ati adalah “kembali ke jati diri yang sebenarnya,” sementara Mutahhari, sebagai seorang mullah yang cukup akrab dengan berbagai pemikiran Barat modern, berusaha secara sistematis membangun pandangan dunia Islam. Gagasan keduanya tak terkesan bersifat apologetis terhadap perkembangan modern, namun sikapnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat masih berpusat di sekitar penekanan bahwa keduanya tak bertentangan dengan Islam, dan memiliki wilayahnya masing-masing.
Perbedaan mereka dari para pemikir Muslim apologetis pada periode sebelumnya adalah bahwa pembedaan mereka membedakan ilmu pengetahuan sebagai instrumen dengan “saintisme” atau ilmu pengetahuan sebagai ideologi atau pandangan dunia. Dengan argumen-argumen yang cukup kuat, dan mengambil manfaat dari kritik-kritik pemikir Barat sendiri terhadap “saintisme”, mereka berusaha menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan harus dikembangkan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan Islam. Dari sudut pandang ini, Mutahhari mengajukan ketaksetujuannya terhadap pembagian ilmu-ilmu keagamaan dan non-keagamaan. Baginya, sejauh suatu ilmu – termasuk ilmu pengetahuan modern – dikembangkan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat Islam, maka disebut ilmu keagamaan. Di sini muncul gagasan yang serupa dengan Iqbal, bahwa pengkajian ilmu pengetahuan dapat menjadi sebentuk ibadah.
Setelah Revolusi Islam 1979, tuntutan-tuntutan praktis muncul dan pembicaraan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi relatif bergeser dari pembacaraan teoretis tentang hubungan agama dengan ilmu pengetahuan menjadi sejauh mana alih ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan negara pascarevolusi itu. Namun yang pertama tak hilang sama sekali, bahkan hingga tingkat tertentu menjadi latar belakang untuk yang kedua.
Salah seorang pemikir terpenting Iran di masa ini yang memiliki perhatian besar terhadap masalah ilmu pengetahuan modern adalah Abdulkarim Surush (lahir 1945). Sebelum kembali ke Iran setelah Revolusi Islam, Surush secara khusus mempelajari filsafat ilmu pengetahuan di Inggris. Dalam banyak hal gagasannya adalah kelanjutan dari gagasan Syari’ati dan Mutahhari. Namun latar belakang akademisnya dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan memperkayanya dengan beberapa detil aspek ilmu pengetahuan modern, dan dengan demikian mempertajam gagasannya.
Gagasan terpenting Surush, yang dikemukakannya dalam bahasa filsafat kontemporer, adalah pembedaan yang populer antara fakta dan nilai, dan antara tujuan dan cara. Ini membawanya pada pembedaan fundamental antara hasil-hasil praktis ilmu pengetahuan (teori ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan ilmu pengetahuan yang diajukan sebagai alternatif pandangan dunia. Menafikan pembedaan itu berati menurunkan nilai dari fakta, apa yang seharusnya dari apa yang terjadi, atau, etika dari ilmu pengetahuan. Contoh yang dibahasnya secara mendalam adalah teori evolusi Darwin . Ia menerima penjelasan Darwin tentang evolusi material yang terjadi pada makhluk hidup, namun menolak evolusi sebagai prinsip etika perkembangan masyarakat.
Setelah pembedaan, yang mesti dilakukan adalah pemilihan. Bagi Surush, “Barat” bukanlah sebuah totalitas yang unik. Beberapa bagian dari peradaban Barat dapat diambil, tanpa harus menerima bagian-bagian lainnya. Ilmu pengetahuan dapat dialihkan tanpa harus menjadi sekuler.
Dalam prakteknya, gagasan yang berkesinambungan mulai dari Bazargan hingga Surush ini secara tak langsung diterjemahkan dalam kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi Republik Islam Iran. Meski sempat mendapat tentangan dari sebagian kecil ulama, pandangan yang umum diterima adalah bahwa negara membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan bahwa keduanya dapat diimpor dan lalu dikembangkan sendiri di dalam negeri, tanpa harus mengingkari ajaran Islam. Karena, ilmu pengetahuan berfungsi lebih sebagai instrumen untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sekali lagi, pandangan instrumentalis mendapat tempat di sini.
Abdus Salam
Seorang tokoh dunia Islam yang harus disebut secara khusus adalah Abdus Salam (1926-1996), seorang fisikiwan asal Pakistan, karena dialah praktisi ilmuwan Muslim terpenting di abad ini. Sebagai ilmuwan, ia adalah satu-satunya Muslim yang mendapat penghargaan Nobel (pada 1979 di bidang fisika). Namun, nilai penting Abdus Salam melampaui penguasaannya atas perkembangan mutakhir fisika kontemporer.
Salam amat dikenal sebagai pejuang ilmu pengetahuan, tak hanya di dunia Islam, namun di dunia ketiga umumnya. Sejarah hidupnya sendiri mengajarkan kepadanya betapa riset murni di bidang ilmu pengetahuan belum mendapat tempat dalam kesadaran akademis. Karena itulah ia terpaksa pindah, dan lalu bermukim di Eropa, yang memberinya tempat untuk terus menghidupkan ilmunya. Kesempatan inilah yang membawanya menjadi pemenang Nobel (bersama Steven Weinberg dan Lee Glashow).
Keprihatinannya atas nasib ilmu pengetahuan di dunia ketiga diungkapkannya dalam pendirian dua lembaga penting, yaitu International Centre for Theoretical Physics (Pusat Internasional bagi Fisika Teoritis) dan Third World Academy of Science (Akademi Dunia Ketiga untuk Ilmu Pengetahuan), di Italia. Dengan mengadakan lokakarya dan seminar rutin yang membahas perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, kedua lembaga ini telah memberikan peluang kepada banyak ilmuwan dunia ketiga – banyak di antaranya Muslim – untuk terus mengembangkan ilmunya, hingga kini.
Di luar bidang fisika, gagasan yang terus-menerus dikemukakannya adalah tentang mutlak perlunya dunia ketiga mengembangkan riset ilmu pengetahuan murni, untuk mengatasi keterbelakangannya dibanding negara-negara maju. Gagasan lainnya berkaitan dengan hubungan ilmu pengetahuan dengan agama, khususnya Islam.
Fakta bahwa Muslim seperti Salam memperoleh Nobel bersama dua fisikawan lainnya – yang non-Muslim – sering diajukan oleh sebagian pemikir Muslim sebagai isyarat netralitas ilmu pengetahuan: bahwa dua orang dari latar belakang nilai-nilai agama yang berbeda dapat bekerja sama untuk menghasilkan satu teori fisika. Salam sendiri, jelas mendukung gagasan netralitas ilmu pengetahuan.
Ia sering mengungkapkan keyakinannya bahwa kerjanya dalam ilmu pengetahuan memiliki landasan normatif yang cukup kuat dalam al-Qur’an. Beberapa artikel pendek yang ditulisnya mengangkat tema tak adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan iman, khususnya Islam. Dengan penguasaannya atas teori-teori astro-fisika mutakhir ia bahkan berusaha menunjukkan kesesuaian ilmu pengetahuan dengan agama dalam, misalnya, pandangan tentang asal usul alam semesta. Melalui agama kita telah lama tahu bahwa semesta diciptakan dari ketiadaan, dan ilmu pengetahuan kontemporer memberikan verifikasi empiris atas pandangan ini.
Yang juga cukup menarik, dalam argumennya ia sempat pula menyebut ahli bedah Perancis Maurice Bucaille. Melalui kajiannya dalam bidang kedokteran, dalam karya utamanya, La Bible, le Coran et la science (Alkitab, Al-Qur’an, dan Ilmu Pengetahuan) diterbitkan tahun 1976, yang telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa Islam (Arab, Persia, Turki, Urdu dan Indonesia), Bucaille mengajukan premis serupa, bahwa tak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan. Rujukan kepada Bucaille menegaskan sikap Salam terhadap ilmu pengetahuan modern. Ia melampaui pandangan seorang instrumentalis dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran. Tak cuma itu, kebenaran itu tak bertentangan bahkan memverifikasi kebenaran wahyu.
Selain itu, dalam salah satu tulisannya Salam juga menunjukkan bahwa peradaban Islam menyumbang cukup banyak dalam kelahiran ilmu pengetahuan modern. Metode eksperimental yang menjadi esensi ilmu pengetahuan modern dikembangkan pertama kali oleh al-Biruni dan Ibn al-Haytsam. Dengan ini semua Salam ingin memberikan landasan untuk penerimaan ilmu pengetahuan modern di kalangan masyarakat Muslim. Dari sini ia beranjak ke gagasannya yang lebih penting. Yaitu, bahwa pengembangan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim adalah mutlak, baik ditinjau dari segi ajaran Islam, dari fakta bahwa Muslim sempat menjadi pelopor pengembangan ilmu pengetahuan, juga fakta betapa terbelakangnya Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan yang telah menjadi fondasi bagi tegaknya peradaban modern.
Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Para pemikir dalam wacana pertama tentang ilmu pengetahuan dan Islam yang disebut di atas umumnya tak menaruh perhatian serius pada pengkajian sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam maupun filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak akhir abad ke-19 – dan inilah salah satu ciri pembeda dengan para pemikir pada wacana kedua. Yang dapat dikecualikan dari pernyataan ini mungkin hanya Iqbal dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat secara langsung di Eropa.
Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan, di masa Iqbal belum tampak pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang al-Biruni, Ibn Sina, Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka. Manuskrip yang telah berusia beberapa abad baru mulai digali dari perpustakaan. Sesungguhnya, dalam salah satu esai pendeknya, “A Plea for A Deeper Study of Muslim Scientists” (Imbauan bagi Kajian Lebih Dalam Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal pernah secara khusus berbicara tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim sezamannya untuk secara serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim terdahulu. Dalam esai itu ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya pikiran para ilmuwan Muslim di zamannya. Beberapa di antaranya bahkan telah mengantisipasi temuan-temuan mutakhir ilmu pengetahuan yang revolusioner.
Saat ini, kerja beberapa dasawarsa penelitian manuskrip-manuskrip kuno itu telah mulai membuahkan hasilnya. Hasil-hasil pengkajian itu telah membantu banyak untuk memberi gambaran tentang bagaimana “ilmu pengetahuan” – yang berdasarkan temuan-temuan itu pendefinisiannya sebagai sesuatu yang universal terjadi, baik di peradaban Barat maupun Islam, masih dapat dipertanyakan – berkembang dalam tradisi Islam. Salah satu paparan modern pertama adalah karya monumental George Sarton, Introduction to the History of Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan) terbit tahun 1927. Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn Haytsam, dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai, Geschichte des Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan Arab), yang menyurvei tak kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa Arab, telah mampu menampilkan nama-nama ilmuwan Muslim berserta karyanya serta ruang lingkup pengkajian mereka yang amat luas.
Di samping karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah cukup banyak pula karya-karya ilmuwan Muslim di masa awal peradaban Islam yang diterjemahkan, terutama ke dalam bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak peneliti sejarah ilmu pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.
Berkat karya-karya perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa karya cemerlang – sebagian besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-jurnal ilmiah – baik yang ditulis Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu kini telah terbentuk gambaran yang lebih baik tentang dinamika perkembangan “ilmu pengetahuan” dalam tradisi intelektual Islam; tentang bagaimana para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya ilmiah Yunani; bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam diselesaikan; dan sebagainya.
Beberapa sarjana terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin Sayili, asal Turki, yang meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I. Sabra, profesor bidang sejarah ilmu pengetahuan dari Universitas Harvard, yang menulis tentang pola-pola perjumpaan ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban lain, khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban non-Islam; Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku tentang sejarah teknologi dalam Islam; D.A. King tentang perkembangan matematika, dan banyak lagi lainnya.
Selain pengkajian atas beberapa disiplin tersebut, telah mulai pula muncul kajian sistematis tentang pola perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Salah satu persoalan yang amat mendapat perhatian adalah tentang sebab-sebab kemerosotan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam tahap awalnya saat ini, analisis historis tersebut masih terbatas dalam lingkungan akademis sejarawan ilmu pengetahuan. Jika ini telah tersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas, tentu akan menjadi amat penting dalam setiap pembicaraan tentang upaya pembangkitan kembali ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Wacana Baru: Islamisasi Ilmu pengetahuan
Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya ada cukup beragam (kelompok) pemikir Muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda – dan tak jarang terdapat pertentangan di antara ragam pendapat itu.
Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat sehubungan dengan penggunaan kata “ilmu pengetahuan” atau “sains”, “islamisasi”, dan kata Islamic dalam Islamic science.
Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya ini telah mulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan Muslim dari Barat di masa-masa sebelumnya telah mengkristal menjadi “gerakan” dengan orientasi baru ini. Pada beberapa kelompok, kedua istilah baru ini, Islamic science dan Islamization of knowledge nyatanya tampak hanya sekadar menjadi baju baru dari usaha yang telah dilakukan beberapa pemikir di masa-masa sebelumnya – terkadang dengan lebih efektif.
Istilah “sains” (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatarbelakangi kebiasaan bahasa Inggris modern – berbeda dengan kebanyakan bahasa lain – untuk membedakan science, sebagai istilah yang dipakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “eksakta” (“pasti”), dari berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah sebabnya berkembang istilah seperti Islamic science dan terjemahan science dan Islamic science oleh sejumlah orang Indonesia dan Malaysia dengan “sains” dan “sains Islam”. Namun, karena istilah “sains” merupakan alih istilah dari bahasa Inggris, dan alih peristilahan yang berdasarkan suatu pembedaan antara cabang ilmu pengetahuan yang “eksakta” dan yang “kurang eksakta”, yang telah sering dipermasalahkan, artikel ini lebih menggunakan istilah “ilmu pengetahuan” daripada “sains”. Perlu ditambahkan bahwa wacana “islamisasi ilmu” dan “ilmu pengetahuan islam” terpusat pada ilmu pengetahuan alam, walaupun tidak terbatas padanya.
Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tak terkecuali Muslim. Sebagai akibat, sebagian ilmuwan Muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut “islamisasi” ilmu pengetahuan atau pengembangan “ilmu pengetahuan Islam”. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Maka wajar pula jika serangan terhadap gagasan ini biasanya berupa upaya mempertahankan premis penting itu. Dan ini biasanya datang dari Muslim praktisi ilmu pengetahuan seperti Abdus Salam.
Jelas bahwa “ilmu pengetahuan Islam” adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut “Zaman Keemasan” Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan Muslim (dan, sebagian kecilnya, non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.
Jadi, di sini istilah “Islam(i)” digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah “modern”, “abad pertengahan”, “klasik” atau “Yunani” digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dan Islam.
Empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Bukanlah suatu kebetulan jika keempatnya terdidik di universitas-universitas Amerika dan Eropa dan terutama menulis dalam bahasa Inggris. Wacana baru ini memang berkembang terutama di kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul secara jelas setelah paruh pertama abad ke-20 ini.
Syed Hossein Nasr
Tokoh pertama yang mesti disebut dalam membicarakan wacana baru tentang ilmu pengetahuan dan Islam itu adalah Seyyed Hossein Nasr (l. 1933). Lahir di Iran, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di bidang Fisika, dan kemudian di Harvard University, di bidang sejarah ilmu pengetahuan. Dialah salah seorang yang pertama kali menulis buku sejarah ilmu pengetahuan di zaman Islam (Science and Civilization in Islam [Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam], 1968) secara cukup komprehensif, meskipun mengundang banyak kritik, terutama dari kalangan orientalis pengkaji sejarah ilmu pengetahuan.
Nasr menggunakan istilah “ilmu pengetahuan Islam” sebagai sistem ilmu pengetahuan yang secara amat kental disusupi oleh metafisika Islam. Namun semangat tingginya sebagai seorang tradisionalis menjadikan apa yang ada dalam sejarah sebagai model ideal bagi “ilmu pengetahuan Islam”, yang baginya masih hidup hingga kini dan mesti dilestarikan. Secara eksplisit ia menyatakan bahwa jika ia menyebut “ilmu pengetahuan Islam” dan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Islam masih hidup hingga kini, maka yang dimaksudkannya adalah suatu sistem ilmu pengetahuan yang berkembang di zaman jaya peradaban Islam, dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn Sina, Al-Biruni, Nasiruddin al-Thusi, dan sebagainya.
Pengertian ilmu pengetahuan pada Nasr berbeda amat jauh dengan ilmu pengetahuan sebagaimana yang lazim dipahami kini. Sebagai contoh, ia biasa menggunakan istilah scientia sacra (sacred science, ilmu sakral) untuk menunjukkan bahwa seharusnya aspek kearifan jauh lebih penting dalam ilmu pengetahuan daripada aspek teknologinya, yang menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern. Ia tampaknya secara sengaja bertahan menggunakan kata “ilmu pengetahuan” justru untuk menunjukkan betapa jauhnya ilmu pengetahuan modern kini telah menyimpang dari apa yang sesungguhnya disebut ilmu pengetahuan pada mulanya.
Lebih jauh, ia kerap mengkritik keras kaum modernis, yang muncul sejak akhir abad ke-19, yang berusaha merekonstruksi pemikiran Islam agar sesuai dengan zaman modern. Menurutnya, kaum modernis itu justru telah mendistorsi tradisi intelektual Islam, semata-mata agar tampak tak “tertinggal” dibanding negara-negara Barat, padahal, di balik “kemajuan” dunia modern itu, ada kemunduran yang amat nyata, terutama dalam bidang spiritual. Distorsi besar lain adalah penerjemahan kata ‘ilm yang khas Islam menjadi science dalam makna modernnya. Istilah science untuk menyebut ilmu-ilmu eksperimental, dan sebagai pembeda dari filsafat yang dianggap terlalu spekulatif, baru muncul pada abad ke-19. Sementara ‘ilm, yang mensyaratkan kepastian (certainty), mencakup beragam jenis ilmu dan beragam metode pencapaiannya.
Sebagai seorang tradisionalis Nasr memandang perkembangan teknologi modern yang pesat dengan pesimis. Ia terutama menyoroti kerusakan lingkungan, yang terjadi mengerikan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sumber ini semua adalah teknologi yang dirancang semata-mata dengan memperhatikan nilai-nilai dunia modern – seperti efisiensi, efektivitas, nilai ekonomis – tanpa memperhatikan kebutuhan manusia, jasmaniah maupun ruhaniah, dan tanpa memperhatikan hubungan ruhaniah antara manusia dengan bumi dan makhluk-makhluk lainnya.
Dalam karyanya yang lebih belakangan, seperti Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan yang Sakral) terbit tahun 1989 dan The Need for Sacred Science (Kebutuhan akan Ilmu Pengetahuan Sakral) terbit tahun 1993, selalu muncul kembali tema keprihatinannya terhadap kenyataan betapa sulitnya manusia modern mengapresiasi hal-hal yang sakral (the sacred). Dalam karya itu terungkap pula harapannya untuk membangkitkan kembali scientia sacra. Dalam hal ini ia bergerak cukup jauh hingga, misalnya, mempertimbangkan kembali alkemi, yang dimaknainya bukan sebagai pendahulu ilmu kimia dalam tahapnya yang masih amat tradisional (bersifat mistis), namun sebagai semacam jalan ruhaniah yang dipilih para ilmuwan itu. Sementara cabang ilmu pengetahuan seperti botani, misalnya, dimaknai sebagai “kajian atas sifat-sifat batin tanaman, termasuk makna spiritual dan simbolisnya dalam kosmos.” Dalam semua hal di atas – baik kritiknya terhadap kemodernan maupun mistisisme sebagai jalan keluarnya – Nasr amat dipengaruhi dua tokoh terbesar filsafat perenial di zaman ini, yaitu Rene Guenon dan Frithjof Schuon.
Dalam membicarakan sejarah ilmu pengetahuan Islam, kecenderungan mistis ini juga tampak amat kuat. Nasr memandang bahwa ada satu semangat yang selalu hadir dalam perkembangan beragam cabang ilmu pengetahuan dalam Islam, yaitu keyakinan pada tauhid (khususnya dalam penafsiran mistisnya). Karyanya yang terutama ditujukan untuk menunjukkan hal ini adalah An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Conceptions of Nature and Methods Used for its study by the Ikhwan al-Safa, al-Biruni, and Ibn Sina. (Pengantar Doktrin-doktrin Kosmologis Islam. Pandangan Alam dan Metode yang Digunakan untuk Mengkajinya Ikhwan al-Safa, al-Biruni, dan Ibn Sina, 1964) dan Science and Civilization in Islam (Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam, 1968), yang berasal dari disertasi doktornya di Harvard. Karya tersebut sebenarnya termasuk dalam disiplin sejarah ilmu pengetahuan, namun amat kental diwarnai (atau ditafsirkan dengan menggunakan) gagasan metafisis-mistis – dan karenanya mendapat kritik tajam dari beberapa sejarawan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini di dunia Islam boleh dikatakan mundur dengan ukuran apa pun, tetapi sebagai gagasan ilmu pengetahuan Islam selalu hidup, dan inilah yang tampaknya diharapkan kebangkitannya oleh Nasr.
Mesti dicatat, bahwa ketika Nasr menyebut “ilmu pengetahuan Islam”, itu masih dalam kerangka scientia sacra. Dan dalam kerangka ini, penafsiran mistis-filosofis tentang alam amat mendominasi. Tak cuma itu, dalam bidang matematika sekalipun, ia tampaknya memberikan penekanan yang berlebih pada aspek mistisnya – yang telah ada sejak zaman Yunani. Karena itu, sering kali memang tak tampak perbedaan yang jelas antara mistisisme dan ilmu pengetahuan.
Bersama dengan makin menyebarnya filsafat perennial, pandangan Nasr kini juga dianut banyak pemikir Muslim kontemporer. Ini terutama tampak menonjol di Malaysia, di mana beberapa pemikir muda yang pernah belajar di bawah bimbingannya di AS membentuk semacam kelompok yang menghidupkan diskusi mengenai paham filsafat perennial ini dalam banyak aspeknya.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Tokoh penting lain yang harus disebutkan di sini adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, ilmuwan Malaysia kelahiran Indonesia . Latar belakang akademis al-Attas adalah kajian sastra dan sejarah Melayu. Namun pemikirannya, dalam bidang sejarah pun, nyaris tak pernah lepas dari pembahasan metafisis atas Islam. Dan salah satu isu terpenting dari metafisika Islam adalah posisi ilmu dan persoalan epistemologi.
Al-Attas melihat bahwa dalam sejarahnya metafisika Islam telah terumuskan dengan baik. Tujuan metafisika adalah penemuan kebenaran. Dan kebenaran tak seharusnya berubah-ubah, karena jika demikian tak lagi dapat disebut kebenaran, tetapi hanya dugaan. Karenanya, sekali suatu metafisika, yang bertujuan menemukan kebenaran, terumuskan dengan memadai, tugas berikutnya bukanlah mencari kebenaran, namun mempertahankannya. Tantangannya di sini adalah dalam soal pengungkapan metafisika itu dalam bahasa zaman yang terus berubah, baik karena soal masa maupun tempat. Ia melihat, metafisika Islam ini berlaku universal di seluruh masyarakat Muslim, dan pada kenyataannya memang telah tersebar ke seluruh wilayah dunia Islam. Di wilayah Melayu, yang menjadi sasaran konsentrasi kajian sejarah al-Attas, metafisika ini pun dalam sejarahnya telah berhasil diungkapkan dengan baik oleh para ulamanya, khususnya Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dan Hamzah Fansuri (sekitar akhir abad ke-16). Karenanya, kajian analitis al-Attas atas karya-karya kedua ulama ini, misalnya, sekaligus dapat menjadi medium penjabaran metafisika Islam itu.
Al-Attas melihat bahwa dalam lingkupnya yang lebih sempit, pada tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan metafisika. Karenanya ilmu pengetahuan mesti bersumber pada metafisika, yaitu ilmu yang lebih tinggi itu. Maka tak mengherankan jika kajian-kajian al-Attas tentang dua tokoh ulama Melayu di atas berakhir dengan dan memiliki implikasi-implikasi teoretis bagi suatu filsafat ilmu pengetahuan yang islami. Al-Attas memang lebih kerap berbicara tentang filsafat ilmu pengetahuan yang islami daripada “ilmu pengetahuan Islam”. Istilah “islamisasi” pun digunakannya secara terbatas, untuk diterapkan secara parsial atas temuan-temuan ilmu pengetahuan kontemporer – meskipun pada mulanya dialah yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam maknanya yang dipahami kini.
Bagi al-Attas, pembicaraan tentang ilmu pengetahuan Islam kontemporer atau islamisasi ilmu pengetahuan hanyalah merupakan satu bagian dari agenda permasalahan umat Islam yang lebih besar. Ia melihat masalah terbesar umat Islam saat ini adalah “masalah ilmu”; dan banyak masalah lainnya adalah akibat dari masalah ini. Karenanya yang pertama kali diupayakannya adalah menggali konsep `ilm dari al-Qur’an maupun sumber-sumber klasik Islam. Dengan cara ini, konsep ilmu tersebut akan betul-betul autentik, dan baru dari sini kita dapat berbicara tentang ilmu pengetahuan modern – apakah itu tentang upaya islamisasi atas ilmu pengetahuan modern, ataupun sekadar adopsi, jika memang tak ada keberatan penting. Sementara itu, upaya islamisasi disiplin-disiplin ilmu secara khusus mengandung bahaya bahwa konsep-konsep Islam itu justru akan ditundukkan oleh konsep-konsep yang ada dalam disiplin-disiplin itu.
Mengenai ilmu pengetahuan modern, pendirian al-Attas relatif jauh lebih terbuka dibanding beberapa pemikir lainnya, karena ia menganggap islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah berhubungan langsung dengan teori-teori ilmu pengetahuan tertentu. Ini karena sampai tingkat tertentu, temuan ilmu pengetahuan, misalnya teori gravitasi Newton, adalah bebas nilai. Bagaimana dengan pandangan dunia mekanistis yang mendasarinya? Baginya, ketika sampai pada masalah pandangan dunia, tak perlu mencarinya dalam ilmu pengetahuan. Dalam hierarki ilmu-ilmu dalam Islam, pandangan dunia diperoleh dari sumber selain ilmu pengetahuan, dan dengan metode yang berbeda dari metode ilmu pengetahuan. Karena itu, baginya dalam Islam tidak akan terjadi semacam revolusi ala Copernicus, yang sempat menggusarkan Gereja Kristen. Di satu sisi, hasil-hasil praktis ilmu pengetahuan – yang banyak dikritik sebagai sumber krisis global saat ini – dapat segera diadopsi dengan melengkapinya dengan etika. Di sisi lain, menyangkut epistemologi, posisi ilmu pengetahuan modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling berwibawa ditolak mentah-mentah.
Yang terutama dikritiknya dalam filsafat ilmu pengetahuan modern adalah pandangannya mengenai sumber-sumber ilmu – yang tak mengakui adanya sumber kebenaran mutlak seperti al-Qur’an dan otoritas – dan metodenya. Sebagai contoh, jika wahyu tak pernah diakui sebagai sumber ilmu, bagaimana mungkin agama dapat hidup? Untuk ini mungkin ada jawaban bahwa bagaimana pun ilmu pengetahuan tak perlu berurusan dengan masalah-masalah yang sifatnya sudah non-empiris. Namun pada kenyataannya ilmu pengetahuan dianggap sebagai cabang ilmu yang paling berwibawa, dan filsafat modern sudah tak mampu lagi mengatasi ilmu pengetahuan sehingga filsafat menjadi sekadar penafsir temuan-temuan ilmu pengetahuan.
Dalam upayanya mengajukan alternatif, al-Attas bergerak lebih jauh dengan menunjukkan secara terinci dasar-dasar penciptaan epistemologi Islam, yang terutama didasarkan pada capaian-capaian filosof Muslim terdahulu. Ini terutama dibahasnya dalam karya terakhirnya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam ( Mukadimah bagi Metafisika Islam, 1995), yang berupaya mengupas asas-asas metafisika dan epistemologi Islam dengan bersandar pada temuan para filosof Muslim itu. Jika semua ini telah terumuskan dengan baik, dan diajarkan kepada individu-individu Muslim sedemikian hingga ilmu ini cukup dihayati, maka islamisasi tak menjadi persoalan lagi, karena akan terjadi secara otomatis melalui diri individu-individu itu. Jadi, “lokus” islamisasi bukanlah displin-disiplin ilmu, namun individu-individu ilmuwannya. Karena itu pula al-Attas memberikan prioritas yang amat tinggi pada pendidikan.
Isma’il Raji al-Faruqi
Pada awalnya Isma’il Raji’ al-Faruqi (1921-1986) – yang meninggalkan tanah kelahirannya, Palestina, setelah negara Israel didirikan (1948) – adalah seorang nasionalis Arab yang banyak menulis tentang agama Yahudi dan perbandingan agama. Hingga kini pun, seperti tampak pada banyak artikel di buku, jurnal, ataupun ensiklopedi, yang membahas tentang sumbangan pemikirannya, ia lebih dikenal sebagai seorang pemikir dalam disiplin kajian agama. Karya-karya terpentingnya di sini adalah The Trialogue of Abrahamic Faiths (Perbincangan Tiga Pihak Mengenai Agama-Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai-Esai dalam Kajian Islam dan Perbandingan, 1982), dan Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama-Agama Dunia, 1974), juga Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasi-Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan, 1982), di samping beberapa artikel di jurnal kajian agama.
Bukunya yang khusus membahas Islamisasi ilmu adalah Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu, 1982), dan, sebelumnya, artikel “Islamizing the Social Sciences” (Mengislamkan Ilmu-Ilmu Sosial, 1979). Di buku itu ia secara terinci menggambarkan proyek islamisasi ilmunya, hingga ke rincian langkah-langkah praktisnya.
Al-Faruqi sampai pada kesimpulan tentang perlunya islamisasi setelah menganalisis masalah umat. Dalam setiap bidang, politik, ekonomi, dan budaya, Muslim terpinggirkan, kalah oleh dominasi Barat. Inti masalah ini, menurutnya, adalah sistem pendidikan yang mengasingkan Muslim dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan agamanya yang seharusnya menjadi sumber kebanggaannya.
Solusinya, dengan demikian, adalah membenahi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu agama (madrasah) dan ilmu non-agama (sekolah, universitas) mesti dipadukan kembali. Pada tingkat ini pun Faruqi sudah mulai membayangkan langkah praktis apa yang mesti dilakukan. Ia membayangkan, universitas-universitas di dunia Islam mestinya cukup banyak memberikan pengajaran tentang peradaban Islam. Tujuannya, memunculkan kembali identitas pelajar Muslim.
Selain itu, ada masalah lain. Di universitas negara-negara Muslim, para mahasiswa Muslim diajar capaian-capaian dan persoalan-persoalan non-Muslim, diajari dengan menggunakan buku non-Muslim, untuk mengembangkan cabang ilmu non-Muslim. “Pemuda Muslim dibaratkan oleh dosen-dosen Muslim di universitas-universitas Muslim,” tulis al-Faruqi. Di sinilah letak pentingnya islamisasi ilmu. Sampai di sini al-Faruqi menjelaskan arti islamisasi pada tingkat konkretnya sebagai berikut: “islamisasi ilmu adalah islamisasi disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya, memproduksi buku-buku teks universitas yang telah dibentuk kembali menuruti visi Islam, dalam sekitar dua puluh disiplin.” Kesederhanaan dan bayangan langkah akhir yang tampak sudah amat jelas dan praktis itu jelas mendukung penerimaan banyak orang terhadap gagasan islamisasi itu.
Selanjutnya, secara terinci proyek islamisasi ilmunya dijabarkan dalam 12 langkah praktis. Pada garis besarnya, program itu diawali dengan dua usaha yang berjalan paralel. Yaitu, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang di Barat, dan pengembangan suatu sistem konseptual yang bersumber pada nilai-nilai dan tradisi keilmuan Islam, sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu yang dibutuhkan Muslim dan kriteria seleksi bagi ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Setelah kedua prasyarat ini dikuasai, yang mesti dilakukan adalah mensintesiskannya. Yaitu, mengembangkan suatu ilmu islami yang merupakan hasil islamisasi ilmu-ilmu modern plus pengembangannya lebih lanjut dalam matriks konseptual islami itu. Kerja berikutnya adalah penyebaran hasil-hasil upaya itu ke seluruh dunia Islam.
Ada dua hal yang penting dicatat di sini. Pertama, proses islamisasi dikenakan secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu itu sendiri. Kedua, program ini amat pragmatis, dalam artian benar-benar berorientasi kepada kebutuhan untuk menerapkannya dalam masyarakat Muslim. Hal yang kedua ini diterjemahkannya melalui IIIT (International Institute of Islamic Thought; Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) dalam sosialisasi kurikulum universitas yang dihasilkan oleh proyek tersebut.
Namun, program yang terkesan sederhana itu, nyatanya tampak menjadi rumit ketika orang harus berhadapan dengan disiplin-disiplin ilmu yang akan diislamisasinya. Apa artinya “membentuk kembali” isi buku teks agar menjadi sesuai dengan visi Islam? Pada beberapa kasus, seperti ditunjukkan oleh beberapa publikasi IIIT, ini bisa berarti hal yang tampak amat tak berarti. Misalnya, menulis “Bismillah” di awal buku teks itu.
Bagaimanapun, dakwah islamisasi al-Faruqi benar-benar mendapat pengikut yang amat banyak. Puluhan buku yang telah diterbitkan IIIT telah mulai mencoba mengambil satu demi satu disiplin yang dikembangkan di Barat dan, dengan segala cara dan daya cipta pelakunya, melakukan islamisasi atasnya.
Ziauddin Sardar
Ziauddin Sardar (l. 1951) adalah doktor di bidang fisika asal Pakistan , yang dibesarkan di Inggris. Sejak awal tahun 1980-an ia cukup rajin menulis di beberapa majalah ilmu pengetahuan terkemuka. Sebagai koresponden Nature, ia pernah berkeliling ke beberapa negara Muslim untuk meneliti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sana , sedangkan tulisan- tulisan awalnya tentang ilmu pengetahuan Islam dipublikasikannya di New Scientist – salah satu di antaranya bahkan pernah menjadi laporan utama majalah bergengsi itu.
Sardar menekankan pembahasannya pada penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer, yaitu sistem ilmu pengetahuan yang sepenuhnya didasarkan pada nilai-nilai Islam. Dibanding Nasr, misalnya, ia tak terlalu menaruh perhatian pada sistem ilmu pengetahuan yang secara aktual dikembangkan pada “Zaman Keemasan” Islam.
Di samping menganjurkan penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer, Sardar juga amat keras mengkritik kelompok-kelompok lain yang tak sejalan dengannya. Ia mengkritik kelompok Muslim yang merasa bahwa dampak negatif ilmu pengetahuan modern dapat diatasi dengan menambahkan etika Islam. Argumen ini menurutnya tak sah, karena dampak ilmu pengetahuan modern juga menyangkut soal kognitif, sehingga perumusan epistemologi Islam juga amat diperlukan. Kelompok lain yang dikritiknya dengan amat keras adalah kelompok yang disebutnya mengembangkan “Bucaillisme” yang diambil dari nama Maurice Bucaille, yang buku-bukunya tentang kesesuaian al-Qur’an dengan temuan kedokteran modern menjadi best-seller di negara-negara Muslim. Praktik seperti ini menurutnya justru amat berbahaya, karena teori-teori ilmu pengetahuan dapat berubah setiap saat, sementara al-Qur’an tak boleh berubah. Dengan kata lain, kesesuaian itu tak dapat menjadi argumen bagi kebenaran al-Qur’an – sesuatu yang justru diupayakan Bucaille dan banyak sarjana Muslim lain. (hlm…dalam artikel “Pemikiran Islam Pasca-1945)
Dalam mengemukakan argumen-argumennya mengenai ilmu pengetahuan Islam, Sardar selalu memulai dengan kritik-kritik amat keras terhadap ilmu pengetahuan modern. Berbeda dengan Nasr yang menggali kritiknya melalui perspektif kaum tradisionalis, Sardar dengan amat baik memanfaatkan kritik-kritik dari kalangan filsuf dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, kaum pemikir environmentalist (pecinta lingkungan), bahkan kelompok radikal kiri di Barat yang marak sejak tahun 1960-an. Kritik-kritiknya ini biasanya berujung pada pernyataan ketaknetralan ilmu pengetahuan modern, dan besarnya pengaruh budaya Barat modern dalam bentuk ilmu pengetahuan itu, serta dalam dampak-dampaknya.
Secara lugas dan sistematis, Sardar mengemukakan empat argumen tentang perlunya ilmu pengetahuan islami. Pertama, bahwa dalam sejarah setiap peradaban besar menciptakan sistem ilmu pengetahuannya yang berbeda-beda; kedua, peradaban Islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik; ketiga, ilmu pengetahuan Barat bersifat destruktif terhadap umat manusia, hingga ke akar-akarnya; keempat, ilmu pengetahuan Barat tak dapat memenuhi kebutuhan material, kultural, dan spiritual masyarakat Muslim. Di titik inilah Sardar masuk untuk menawarkan alternatif Islam. Konsekuensi logis yang dapat ditarik dari kritik-kritiknya itu, adalah bahwa yang diperlukan kini adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan – hingga ke tingkat epistemologi dan pandangan dunianya – untuk diisi dengan nilai-nilai Islam, agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam, yang lebih sesuai dengan kebutuhan jasmaniah dan ruhaniah Muslim. Dalam bahasanya sendiri, ini adalah upaya “kontemporerisasi ilmu pengetahuan islam”.
Pembicaraan Sardar tentang ilmu pengetahuan Islam ditempatkan dalam konteks upaya pembangunan kembali peradaban Islam dalam segala aspeknya. Pandangan Sardar terhadap peradaban bersifat struktural. Di pusat peradaban ada pandangan dunia, yang tercermin dalam syariah dan epistemologi Islam yang merupakan sumber nilai-nilai bagi seluruh aspek peradaban. Ungkapan eksternal dari keduanya adalah subsistem-subsistem peradaban, seperti politik, ekonomi, juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, baginya, berbicara tentang peradaban Islam harus dimulai dari pembicaraan tentang pandangan dunia dan epistemologi itu.
Di sisi lain, hal ini berarti bahwa jika ia menginginkan perubahan mendasar dalam sistem ilmu pengetahuan yang sedang berlaku di dunia ini, itu berarti perubahan hingga ke masalah pandangan dunia, yaitu suatu tatanan konseptual yang dapat berfungsi (workable) dalam melahirkan sistem-sistem sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Malangnya, Sardar melihat hingga kini pandangan dunia Islam yang diinginkannya itu belum terumuskan. Ia sendiri tak pernah beranjak cukup jauh dari sekadar menyarankan perlunya pembangunan kembali peradaban Islam dengan formula teoretis yang ditawarkannya. Dalam hal ilmu pengetahuan, ia tak pernah beranjak cukup jauh dari ideal-ideal “ilmu pengetahuan Islam kontemporer”-nya.
Dalam buku terakhirnya, Exploration in Islamic Science (Penyelidikan Dalam Ilmu Pengetahuan, 1989), Sardar menyebut dirinya dan beberapa rekannya (di antaranya, Munawar Ahmad Anees, Meryl Wynn Davies, dan S. Parvez Mansoor) yang sama-sama bercita-cita menciptakan ilmu pengetahuan Islam kontemporer sebagai kelompok Ijmali (kata yang maknanya bernuansa keindahan, sintesis, dan keseluruhan). Pada awalnya, kelompok ini bergabung dalam majalah bulanan Afkar/Inquiry (terbit di Inggris), yang dikhususkan untuk membahas isu-isu peradaban Islam, khususnya yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi.
Exploration bisa dianggap sebagai karya konklusif Sardar yang memuat seluruh perkembangan gagasannya – dengan beberapa argumen dan dukungan data historis baru – tentang ilmu pengetahuan Islam. Tak kurang dari separuh bukunya merupakan usaha memetakan posisi beberapa pemikir Muslim ternama tentang masalah ilmu pengetahuan dan Islam. Di antaranya ia menyebut adanya kecenderungan “Bucaillisme” yang disebut di atas, lalu mazhab Nasr yang amat kental didominasi perspektif mistisisme, kelompok mayoritas Muslim yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu netral dan bebas nilai sehingga agenda utamanya adalah bagaimana mengejar ketertinggalan Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua kelompok ini dikritiknya dengan amat keras. Alternatifnya adalah gagasan Sardar dan kelompok Ijmali.
Ilmu pengetahuan Islam kontemporer diajukan Sardar sebagai alternatif terhadap ilmu pengetahuan Barat, tak cuma bagi masyarakat Muslim, tetapi juga sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan yang dapat memperbaiki dan mengubah secara radikal sistem ilmu pengetahuan yang wujud saat ini, yang telah terbukti membawa dampak-dampak negatif luar biasa bagi alam, masyarakat, dan psikologi manusia modern secara global.
Ada delapan tingkat kerja yang diajukannya untuk membangun kembali ilmu pengetahuan Islam: perumusan kembali epistemologi Islam, penyusunan metodologi ilmu pengetahuan yang baru, kajian analitis terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi Islam, penyusunan kebijakan ilmu pengetahuan di negara-negara Muslim, penelitian empiris, pembangunan lembaga-lembaga riset, pemaduan sistem ini dalam sistem pendidikan, dan penyebaran kesadaran akan masalah-masalah ilmu pengetahuan dalam masyarakat.
Lalu seperti apa bentuk praktis ilmu pengetahuan Islam? Sardar tak pernah mengemukakannya secara lugas. Mungkin ini memang tak berada dalam lingkup pemikirannya. Namun dalam tingkat pandangan dunia dan epistemologi pun ia berhenti dalam pembahasan beberapa nilai-nilai Islam, seperti tauhid, khilafah, halal-haram. Bagi kelompok yang pesismis terhadap wujudnya ilmu pengetahuan Islam, ini tak jauh berbeda dari sekadar menambahkan etika Islam dalam penerapan ilmu pengetahuan modern, atau memberikan tafsir islami terhadap temuan-temuannya – dan bukan rekonstruksi radikal atas ilmu pengetahuan modern. Sardar sendiri menyebutkan bahwa “model ilmu pengetahuan Islam itu masih membutuhkan kerja lebih lanjut yang amat banyak.”
Islamisasi Ilmu Sebagai Sebuah Gerakan
Gagasan-gagasan para pemikir yang menganjurkan islamisasi ilmu pengetahuan atau penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam di atas dapat dikatakan telah mewujud dalam suatu “gerakan”. Ini karena meskipun pada awalnya mereka bergerak sebagai individu, belakangan terbentuk berbagai kelompok pemikir, sebagian dengan lembaganya masing-masing, untuk mengembangkan atau bahkan menerapkan gagasan tersebut pada tingkat praktis. Dalam hal ini perbedaan mereka dengan Iqbal, misalnya, tampak jelas jika dilihat bahwa gagasan-gagasan Iqbal – secemerlang apa pun gagasannya, dibandingkan dengan banyak pemikir Muslim kontemporer sekalipun – tinggal sebagai gagasan dan tak terwujud dalam suatu lembaga yang dapat meneruskan cita-citanya.
Syed Hosein Nasr, misalnya, meskipun tak memiliki lembaga formal yang mengembangkan gagasannya, mempunyai banyak murid yang aktif menulis mengembangkan perspektif tradisionalisnya di beberapa negara, seperti Malaysia dan Pakistan . Murid terpenting Nasr adalah Osman Bakar, dari Malaysia . Memperoleh gelar Master dalam bidang matematika ( London ) dan Doktor dalam filsafat Islam ( Temple University ), tema-tema karya Bakar tak jauh berbeda dari Nasr. Karya terpentingnya dalam hal ini adalah Tauhid and Science (Tauhid dan ILmu Pengetahuan, 1991) yang merupakan kumpulan esai tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan Islam. Bakar kini aktif di Fakultas Ilmu pengetahuan, Universiti Malaya.
Ziauddin Sardar dan kelompok Ijmali-nya muncul ke forum intelektual Islam melalui majalah Afkar/Inquiry yang mereka terbitkan. Majalah ini secara amat gencar mengupas satu demi satu bidang-bidang ilmu pengetahuan – di antaranya biologi, masalah lingkungan, juga antropologi – dalam kerangka besar penciptaan peradaban Islam kontemporer. Afkar/Inquiry, yang hanya terbit selama empat tahun (1984-1987), sempat menjadi majalah yang cukup penting dalam menampilkan gagasan-gagasan baru itu. Setelah itu, para penyumbang utamanya lebih banyak menerbitkan buku.
Salah seorang tokoh Ijmali lain di antaranya adalah Munawar Ahmad Anees, seorang doktor di bidang biologi. Kajian-kajian kritisnya tentang biologi modern tak hanya berhenti pada tingkat teoretis, tetapi sudah menukik hingga ke beberapa masalah praktis. Di sini ia juga melihat implikasinya pada fikih Islam. Selain artikel-artikel yang ditulisnya di Afkar/Inquiry, ia telah menulis sebuah buku, Islam and the Biological Futures (Islam dan Masa Depan Biologis). Selain Anees ada Meryl Wynn Davies, yang mencoba menggali nilai-nilai islami untuk diterapkan dalam suatu disiplin antropologi. Buku Davies tentang antropologi Islam yang telah diterbitkan adalah Knowing One Another (Saling Mengenal). Lalu ada pula Parvez Mansoor yang banyak menulis tentang perpektif Islam atas lingkungan dan ilmu politik kontemporer.
Di luar lingkup gerakan kelompok Ijmali, mesti disebut juga sebuah jurnal berbahasa Inggris yang berbasis di Aligarh, India, Journal of Islamic Science (Majalah Ilmu Pengetahuan Islam). Jurnal ini sepenuhnya diperuntukkan bagi pengkajian masalah-masalah di seputar ilmu pengetahuan Islam. Secara umum, posisi jurnal ini mirip dengan posisi Sardar, yang menghendaki reorientasi epistemologis yang radikal. Namun, yang lebih sering muncul di sini adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, daripada penggodokan gagasan ilmu pengetahuan Islam sendiri. Jurnal ini tampaknya kurang berdampak dan tak dianggap sebagai jurnal penting di lingkungan akademis.
Pada 1981, al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Thought, IIIT (Lembaga Internasional Untuk Pemikiran Islam) . Mendahului pembentukan IIIT adalah penyelenggaraan konferensi tentang islamisasi ilmu di Swiss pada tahun 1977. Penyelenggaranya adalah Association of Muslim Social Scientists (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim), di bawah Muslim Students Association (Perhimpunan Mahasiswa Muslim), sebuah organisasi Islam yang paling berpengaruh di AS, dengan al-Faruqi sebagai salah seorang pendirinya (-> artikel “Minoritas Muslim pada Abad ke-20). Konperensi tentang islamisasi ilmu ini berlanjut dengan konperensi kedua ( Islamabad , 1983), ketiga (Kuala Lumpur, 1984), dan keempat ( Khartoum , 1987). Lembaga ini berbasis di Amerika Serikat, namun kini cabangnya di Malaysia tampak berkembang amat pesat dan lebih mendominasi. Ini terutama disebabkan oleh kuatnya pengaruh IIIT di Universiti Islam Antarbangsa (International Islamic University, IIU) Malaysia .
Dengan dukungan dana yang cukup kuat, lembaga ini hingga kini telah berhasil menerbitkan amat banyak publikasi, dalam bahasa Inggris dan Arab, di samping sebuah jurnal, American Journal of Islamic Social Sciences, AJISS (Majalah Amerika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Islam). Beberapa tahun terakhir ini upaya islamisasi telah diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu yang spesifik, khususnya ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
Upaya penerbitan buku dalam bahasa Inggris dan Arab yang amat gencar itu diikuti dengan penerjemahannya ke beberapa bahasa Islam lain, termasuk bahasa Indonesia . Selain itu, IIIT telah pula mulai menyelenggarakan seminar-seminar regional di beberapa negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara, yang menjadi ajang sosialisasi gagasan Islamisasi ilmu dalam berbagai bidangnya.
Di Malaysia, selain IIU yang menjadi basis pengembangan islamisasi ilmu versi IIIT, ada pula International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC (Lembaga Internasiona untuk Pemikiran dan Peradaban Islam), yang didirikan pada 1987. ISTAC didirikan sebagai perwujudan gagasan Syed Naquib al-Attas, dan dirancang berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan al-Attas belasan tahun sebelum lembaga ini berdiri. ISTAC juga aktif menerbitkan buku dan menarik banyak dosen dan mahasiswa dari berbagai wilayah dunia Islam. Mulai 1996, sebuah jurnal pemikiran Islam, Al-Shajarah, diterbitkan ISTAC.
ISTAC juga menerbitkan banyak buku hasil karya para dosennya, terutama dalam bidang pemikiran Islam. Pada 1996 lembaga ini menerbitkan sebuah buku tentang ilmu pengetahuan Islam (Islamic Science, Towards A Definition [Ilmu Pengetahuan Islam, Menuju Suatu Definisi) karya Alparslan Acikgenc, seorang dosen asal Turki yang belajar di bawah Fazlur Rahman (1919-1988) dan kini mengajar di ISTAC. Buku ini berusaha menjabarkan lebih jauh gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan berupaya mendefinisikan ilmu pengetahuan Islam secara tajam.
Dengan dukungan dana dari pemerintah Malaysia yang cukup kuat - untuk mendatangkan dosen-dosen dari negara-negara Muslim, memperkaya perpustakannya, dan mendanai riset-riset - ISTAC tampaknya masih akan terus mampu mengembangkan gagasan al-Attas, sebagai pendiri dan direkturnya, dalam menciptakan fondasi teoretis bagi proyek islamisasinya. Berbeda dengan IIU, ISTAC lebih menekankan pada pengembangan landasan teoretis yang terutama menyangkut metafisika dan epistemologi ini daripada melakukan upaya islamisasi secara langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu.
Ada sebuah fenomena penting lainnya berhubungan dengan hal ini. Jika dapat dipisahkan antara dunia akademis dan aktivisme, maka "gerakan" tersebut bisa dikatakan berlangsung lebih dalam konteks aktivisme Islam - setidaknya dari sudut pandang dunia kajian Islam (Islamic studies) yang berkembang amat pesat di Barat pada abad ke-20 ini. Sardar, meskipun mendapat gelar doktornya di bidang fisika, lebih dikenal sebagai "wartawan" - sebuah sebutan peyoratif di lingkaran akademis. Faruqi pada awalnya memang lebih dikenal sebagai aktivis nasionalis Arab. Sementara Nasr dikenal baik di lingkungan akademis, tetapi lebih sebagai seorang sejarawan ilmu pengetahuan - yang teori-teorinya mengenai ilmu pengetahuan Islam mendapat banyak kritik karena terlalu kental dengan pernyataan-pernyataan apriori tentang sifat ilmu pengetahuan Islam. Di lingkungan akademis Barat, Naquib al-Attas pun tak dikenal sebagai pemrakarsa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tetapi lebih sebagai sejarawan dengan spesialisasi sejarah Islam di Kepulauan Melayu.
Akibatnya, hingga kini gagasan-gagasan itu tak banyak dibicarakan di lingkungan akademis di luar dunia Islam. Ini sama sekali tak lalu harus berarti para penggagas ide tersebut tak memberikan sumbangan konseptual dalam wilayah kajian Islam. Tetapi, kepentingan pengembangan gagasan ini memang lebih ditujukan untuk pengembangan masyarakat Muslim, daripada semata-mata untuk kepentingan akademis kajian Islam.
Meskipun demikian, mesti pula dicatat bahwa wacana islamisasi ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan Islam ini berlangsung terutama dalam bahasa Inggris. (IIIT menerbitkan cukup banyak buku dalam bahasa Arab, namun buku-buku terpentingnya lebih awal terbit dalam bahasa Inggris.) Kenyataan ini menunjukkan satu hal lain: bahwa sebagian amat besar, kalau tidak semua, penggagas ide tersebut pernah mendapatkan pendidikan di "negara-negara sekuler" Amerika atau Eropa, sehingga cukup terekspos dengan nilai-nilai dari apa yang sering mereka sebut "peradaban Barat". Sebuah kenyataan lain yang ditunjukkan oleh fakta ini adalah bahwa gagasan ini merupakan sesuatu yang "baru" dalam sejarah intelektual Islam, sedemikian hingga beberapa terminologi baru dalam bahasa Inggris harus diciptakan, sementara penerjemahannya ke dalam bahasa Arab - yaitu, bahasa intelektual Islam - sering kali terasa ganjil. Penerjemahan "ilmu pengetahuan Islam" atau "islamisasi ilmu" ke dalam bahasa Arab nyatanya menjadi problematis.
Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu
Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada pendirian lain yang bertentangan. Pada umumnya pendirian ini mendapatkan argumen utamanya dengan menolak premis paling penting dalam argumentasi ilmu pengetahuan Islam itu, yaitu, bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Implikasi praktisnya adalah pandangan instrumentalis: bahwa sebagai kumpulan instrumen yang bermanfaat secara praktis (terutama dalam penerjemahannya ke dalam teknologi) ilmu pengetahuan modern dapat dikembangkan dalam lingkungan Islam. Dan ini tak menafikan kemungkinan umat Islam untuk tetap hidup menuruti ajaran Islam, karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan adalah alat, bukan tujuan.
Dua gagasan yang serupa dan dapat mewakili spektrum gagasan yang menolak islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam adalah Fazlur Rahman (1919-1988) dan Pervez Hoodbhoy (l. 1950). Rahman adalah sarjana Muslim yang memusatkan kajiannya pada al-Qur'an, sementara Hoodbhoy adalah doktor di bidang fisika nuklir yang mendapatkan gelar doktornya dari MIT. Dari segi kuantitas karyanya dalam lingkup wacana ilmu pengetahuan Islam, keduanya memang tak menonjol. Rahman hanya menulis dua artikel singkat tentang masalah ini (Arabia, 1986, dan AJISS, 1988). Hoodbhoy menulis sebuah entri tentang ilmu pengetahuan dan Islam dalam The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, (Ensiklopedi Oxford tentang Dunia Islam Modern, ed. John Esposito, 1995) dan satu buku, Islam and Science, Religious Orthodoy and the Battle for Rationality (Ortodoksi Keagamaan dan Perjuangan demi Kerasionalan, 1992) - yang sempat memancing polemik sengit di negerinya, Pakistan. Namun pandangan-pandangan mereka cukup mewakili gagasan para penentang islamisasi ilmu.
Yang pertama adalah Fazlur Rahman. Sarjana asal Pakistan yang amat diakui di lingkungan akademis Barat ini pernah secara khusus memberikan tanggapannya terhadap gagasan islamisasi ilmu. Meskipun tanggapan ini tak terlalu rinci dibandingkan dengan apa yang telah berlangsung dalam wacana islamisasi, pandangannya tetap layak diikuti, karena ia mewakili satu arus yang cukup banyak pengikutnya.
Menulis untuk majalah Arabia di awal tahun 1986 ia mengkritik Ziauddin Sardar yang menurutnya sama sekali tak akrab dengan tradisi intelektual Islam masa lampau. Rancangan sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu dianggapnya terlalu mekanistis. Dan meskipun keduanya mengkritik Barat dengan amat keras, mereka tampaknya justru tak dapat melepaskan diri dari Barat. Sardar mengutip kritik Barat terhadap ilmu pengetahuan Barat, bahkan definisi Barat mengenai ilmu. Sementara Faruqi, dalam urutan langkah-langkah programnya, tampak lebih mementingkan penguasaan ilmu pengetahuan Barat, yang mesti lebih dulu digarap, daripada tradisi Islam sendiri. Nasr dan al-Attas dilihatnya hanya akrab dengan bagian-bagian tertentu dari tradisi intelektual Islam.
Dalam AJISS (1988), terbitan IIIT, ia menuliskan tanggapannya lebih jauh. Dengan tegas Rahman menulis: "Apa pun yang mengekspos sesuatu yang baru pada pikiran adalah ilmu. Ilmu itu sendiri tidaklah buruk tetapi penyalahgunaannya yang buruk." Dan persoalan baik buruk adalah persoalan moral. Sebagai contoh adalah sihir, yang dikutuk oleh al-Qur'an, namun dikategorikan sebagai ilmu.
Dalam sejarah Islam sendiri, para ilmuwan Muslim menyerap amat banyak unsur-unsur baru dari peradaban non-Islam. Di kalangan ilmuwan Muslim, ada banyak temuan yang berkaitan dengan masalah keimanan yang mendasar, dan beberapa di antaranya saling bertentangan. Persoalannya kemudian adalah menguji kesesuaian temuan-temuan itu dengan ajaran al-Qur'an. Bagi Rahman, sebetulnya inilah yang merupakan tugas mendesak. Setelah ini, dengan kriteria yang sama, yaitu al-Qur'an, tradisi intelektual Barat juga harus dinilai. Dan kerja ini bukanlah kerja mekanis. Istilah "islamisasi" bagi Rahman mengesankan sifat mekanis ini. Karena seakan-akan dalam mengahadapi berbagai ilmu yang datang dari Barat - misalnya, teori-teori Durkheim dan Weber - kita akan duduk begitu saja dan mengislamisasikannya. Ini tak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif.
Jadi, sebetulnya Rahman tak sepenuhnya menentang gagasan ini, namun lebih menentang beberapa varian dari gagasan ini yang memang terkesan bersifat mekanis. Ini, misalnya, tampak dalam program 12 langkah Ismail Faruqi. Sementara gagasan bahwa sebagian tubuh ilmu pengetahuan tak sesuai dengan Islam diakuinya. Tetapi persoalannya juga lalu tak hanya ilmu yang datang dari Barat, namun dalam tradisi Islam sendiri tak tertutup kemungkinan adanya teori-teori yang tak sesuai dengan Islam.
Satu hal yang tampaknya lebih penting dari respon Rahman ini adalah bahwa ia telah membawa persoalan yang sebelumnya hanya dibicarakan dalam konteks "aktivisme Islam" itu ke dalam kerangka perdebatan teoretis yang lebih besar. Yaitu, tentang bagaimana seharusnya Muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang diturunkan dari al-Qur'an secara absah. Termasuk di sini adalah penciptaan kriteria untuk menilai sejauh mana keislaman tradisi Islam sendiri. Ini adalah persoalan metodologi membaca al-Qur'an dalam konteks pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi Muslim. Dan memang inilah obsesi terpenting Rahman yang tampak dalam karya-karya utamanya.
Kritik Pervez Hoodbhoy bertumpu pada pandangan instrumentalis yang sama dengan Rahman, dengan keyakinan akan netralitas ilmu pengetahuan sebagai landasannya. Serupa juga dengan Rahman, ia sebenarnya lebih mengarahkan kritiknya pada beberapa varian dalam wacana islamisasi ilmu, yang terutama diwakili oleh Faruqi dan Sardar. Di beberapa tempat lain, gagasan "ilmu pengetahuan Islam" yang dikritiknya pun sebetulnya terbatas pada upaya seperti yang dilakukan Maurice Bucaille - yang oleh Sardar pun dikritik amat keras.
Hoodbhoy mempertanyakan kebermaknaan istilah "ilmu pengetahuan Islam" sendiri. Menurutnya, harus dilakukan pembedaa antara ilmu pengetahuan yang dipraktikkan Muslim - saat ini maupun di zaman keemasan Islam - dengan konsep "ilmu pengetahuan Islam" yang dianggap secara khusus mencerminkan karakter Islam. Konsep "ilmu pengetahuan Islam" dapat dinafikan kebermaknaannya setidaknya dengan tiga alasan.
Pertama, bahwa setelah beberapa dasawarsa dibincangkan, hingga kini belum ada yang bisa disebut ilmu pengetahuan Islam, dan tak ada satu pun instrumen yang diciptakan atau eksperimen yang berhasil dibuktikan oleh upaya ini. Kedua, bahwa ilmu pengetahuan tak pernah dibangun atas dasar seperangkat keyakinan. Apapun keyakinan - filosofis ataupun religius - seorang ilmuwan, teori ilmu pengetahuan akhirnya harus dibuktikan dengan prosedur normal ilmu pengetahuan, yaitu, percobaan dan pengujian. Terakhir, hingga kini belum tercapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud "ilmu pengetahuan Islam". Yang ada adalah polemik tak berkesudahan selama puluhan tahun terakhir.
Di samping itu, Hoodbhoy juga mengajukan data-data historis bahwa, ketika masalah keyakinan religius dibawa-bawa dalam praktek ilmu pengetahuan, maka yang kerap terjadi adalah eksekusi ilmuwan oleh kaum agamawan ortodoks. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam dan islamisasi dipandangnya sebagai mewakili kaum ortodoks zaman ini, yang dikhawatirkan justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana telah terjadi dalam sejarah Kristen maupun sejarah Islam yang lebih awal.
Agenda Hoodbhoy jelas: bagaimana memperkuat infrastruktur di negara-negara Muslim agar riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maju pesat. Pembicaraan teoretis tentang suatu ilmu pengetahuan yang didasari oleh nilai-nilai Islam adalah pembicaraan yang salah arah, dan justru mengalihkan perhatian Muslim dari agenda yang sesungguhnya.
Bagi para pendukung islamisasi ilmu atau ilmu pengetahuan Islam, argumen-argumen Hoodbhoy mungkin dapat dijawab dengan mudah. Gagasan para pendukung alih ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang mayoritas berpandangan instrumentalis mungkin juga mudah dipahami. Namun, hingga waktu yang cukup lama, penerimaan yang luas atas gagasan mereka memang tampaknya akhirnya bergantung pada sejauh mana gagasan-gagasan abstrak tentang ilmu pengetahuan Islam dapat juga menjawab masalah praktis dan mendesak yang tampak menyolok di depan mata: ketertinggalan Muslim. Jika didesak hingga ke titik ini, rata-rata jawaban mereka adalah bahwa situasi saat ini, yaitu keadaan terlanjurnya umat Islam hidup dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, memang tak dapat dihindari. Sebelum konsep komprehensif tentang ilmu pengetahuan Islam terumuskan dengan baik, maka yang bisa dilakukan adalah memperkecil dampaknya, dengan cara menggunakan etika sebagai kriteria pemilihan unit-unit ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dikembangkan.
Kecenderungan Wacana Islam dan Ilmu Pengetahuan di Indonesia
Di Indonesia, pembicaraan tentang Islam dan ilmu pengetahuan tampak sejalan dengan - dan, sebagian besarnya, mengikuti - apa yang berkembang di kalangan pemikir Muslim dunia umumnya. Hingga dasawarsa 1980-an, tulisan-tulisan tentang Islam dan ilmu pengetahuan, yang amat langka, terutama berkaitan dengan sumbangan Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern, sejarah tokoh-tokoh ilmuwan Muslim di masa kejayaan Islam, ataupun kesejajaran ajaran Islam dengan temuan ilmu pengetahuan mutakhir. Di sini kita bisa menyebut, misalnya, karya S.I. Poeradisastra yang paling menonjol, Sumbangan Islam untuk Ilmu Pengetahuan (1981) dan beberapa buku Soedewo P.K. yang menulis tentang teori-teori mutakhir ilmu pengetahuan dan kesesuaiannya dengan tauhid dan al-Quran. Di masanya, pada tahun 1960-an, karya-karya Soedewo dapat dikatakan maju. Mungkin karena Soedewo berasal dari lingkungan Ahmadiyah, ia menjadi tak cukup menonjol, bukunya juga tak tersebar luas.
Diskursus tentang masalah ini tampak lebih menonjol ketika kecenderungan wacana "islamisasi ilmu" berkembang di luar. Dimulai pada sekitar pertengahan tahun 1980-an, pembicaraan tentang islamisasi ilmu cukup mendominasi dan mencapai klimaksnya pada akhir dasawarsa itu.
Salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan menandai munculnya wacana islamisasi ilmu adalah "Diskusi Panel Epistemologi Islam", di Masjid Istiqlal, 23 November 1985 . Seperti tampak dalam makalah-makalahnya, kata "epistemologi" dalam tema diskusi panel tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami daripada sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Varian pandangan yang muncul dalam diskusi itu pun berada dalam kerangka wacana islamisasi ilmu yang telah berkembang di luar.
Pandangan yang kontra, misalnya, muncul dari Harun Nasution, yang menulis makalah berjudul "Etika Ilmu pengetahuan dalam Islam". Inilah sebuah tema penting dalam wacana islamisasi ilmu, yang kerap diajukan sebagai alternatif dari upaya mengislamkan ilmu pengetahuan. Kalimat pertama dalam makalah Harun Nasution adalah penjelasan posisinya secara amat tegas, bahwa tak ada yang dinamakan epistemologi Islam, karena ilmu pengetahuan adalah netral. Yang penting dicatat di sini, untuk menunjukkan bahwa diskusi itu ada dalam wacana islamisasi ilmu, adalah kalimat berikutnya yang menyatakan ketakpercayaan pada gagasan al-Faruqi tentang islamisasi ilmu-ilmu.
Sementara itu, makalah-makalah A.M. Saefuddin, Armahedi Mahzar, Miska M. Amien, dan Jalaluddin Rakhmat, berusaha menggali unsur-unsur epistemologi Islam dengan visi penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami. Unsur-unsur tersebut, antara lain, adalah prinsip-prinsip metafisis yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu, dan tujuan pencarian ilmu.
Selain dalam banyak seminar, hingga pada akhir dasawarsa 1980-an, isu islamisasi ilmu amat sering muncul dalam beberapa jurnal keislaman. Yang penting dicatat di sini adalah Ulumul Qur'an, yang pada edisi-edisi awalnya sempat menurunkan isu ini sebagai tema utamanya. Pada saat yang sama, dalam ruang lingkup yang lebih kecil, buletin 24-halaman Salman, yang diterbitkan oleh sekelompok mahasiswa di masjid Salman-ITB, sempat secara amat gencar membahas isu ini. Sementara dalam Ulumul Qur'an spektrum pro-kontra mengenai gagasan ini terwakili, Salman tampak hanya mewakili gagasan-gagasan yang muncul dalam Afkar-Inquiry (yaitu, "kelompok Ijmali"). Ulumul Qur'an, diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), mencerminkan hangatnya perdebatan mengenai isu ini, hingga setidaknya tahun 1993. Sebagai jurnal kajian Islam dengan tiras terbesar, Ulumul Qur'an dapat dikatakan mewakili arus utama perbincangan intelektual Muslim. LSAF sendiri cukup banyak mensponsori berbagai diskusi, termasuk "Diskusi Panel Epistemologi Islam" di atas. Beberapa penulis yang muncul di UQ sempat mengemukakan pandangannya yang cukup komprehensif seperti, misalnya, Hana Djumhana Bustaman, yang mengembangkan psikologi islami.
Buku-buku yang diterbitkan mengenai isu ini di Indonesia , nyaris semuanya merupakan terjemahan. Dan hampir semua buku utama dari berbagai varian pandangan telah diterjemahkan. Dari penulis Indonesia sendiri, hanya sedikit nama yang dapat disebutkan. Sebagian besar dari mereka menulis di jurnal atau majalah keislaman, dan hanya amat sedikit yang menulis buku khusus mengenai masalah ini.
Di antara yang sedikit ini, Ahmad Baiquni menulis Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (1983). Pandangan Baiquni - seorang fisikawan - mirip dengan Abdus Salam. Bagi Baiquni, berbicara tentang Islam dan ilmu pengetahuan berarti menunjukkan kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an dengan temuan ilmu pengetahuan kontemporer. Ia, di antaranya, menunjukkan bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.
Tokoh-tokoh lain yang dapat disebut di sini adalah Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, dan Armahedi Mahzar. Keakraban Rakhmat dengan metodologi penelitian membuahkan beberapa artikel yang konsisten (dimuat sebagai salah satu bab dalam bukunya Islam Alternatif) tentang Islam dan ilmu pengetahuan. Ia menekankan pada proses pencarian ilmu - mulai dari pilihan isu hingga penerapannya. Dalam setiap tahap proses itu, ajaran Islam - sebagai pranggapan metafisis maupun pertimbangan etis - dapat ambil bagian. Hasil dari proses pencarian ilmu yang tiap tahapnya diwarnai Islam ini adalah ilmu yang islami.
Sementara itu, Armahedi Mahzar jauh sebelumnya telah dikenal lewat bukunya Integralisme. Dengan apa yang disebutnya sebagai "pendekatan integralis", Armahedi berusaha menunjukkan lapis-lapis struktur ilmu pengetahuan dan di mana Islam dapat masuk untuk mewarnai lapis-lapis itu. Dengan latar belakang fisikanya, ia juga kerap menunjukkan kesesuaian temuan ilmu pengetahuan kontemporer dengan pandangan Islam di tingkat metafisika. Ini sejalan dengan munculnya literatur-literatur ilmu pengetahuan kontemporer yang diilhami oleh pengamatan akan adanya kesejajaran temuan ilmu pengetahuan, khususnya fisika, dengan pandangan tradisional (termasuk agama) yang holistis tentang alam semesta.
Populernya mazhab tradisionalisme (perenialisme) yang digagas Syed Hossein Nasr dan kawan-kawan di Indonesia pada sekitar 1994 dan 1995 ikut mewarnai wacana tentang Islam dan ilmu pengetahuan. Di sini yang banyak dibincangkan adalah pandangan holistis tentang alam semesta.
Setelah perbincangan tentang tema ini tampak melemah selama beberapa tahun di awal 1990-an, pada Agustus 1994 diadakan seminar internasional tentang Islam dan ilmu pengetahuan di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung dengan sponsor Lembaga Mukjizat Al-Qur'an, yang berada di bawah Rabithah 'Alam Islami (Liga Dunia Islam), yang berpusat di Mekah. Sesuai dengan nama lembaga sponsor itu, penekanan seminar itu adalah pada pengungkapan kesesuaian temuan ilmu pengetahuan modern dengan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dianggap sebagai mukjizat.
Lalu, pada Juni 1996, bersama dengan lembaga itu dan IIIT, B.J. Habibie (l. 1936) - sebagai ketua ICMI yang giat mengembangkan teknologi tinggi di Indonesia - melakukan penandatangan kesepakatan pembentukan forum bersama untuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan sumberdaya manusia di depan Ka'bah, Mekah. Forum yang bernama International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development, (IFTIHAR, Forum Islam Antarbangsa untuk Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Manusia) itu pada 6-8 Desember 1996 mengadakan konferensi pertamanya di Jakarta . Konferensi yang diikuti 400 peserta dari 50 negara itu menunjuk Habibie sebagai ketuanya, dan melahirkan rancangan aksi yang disebut Deklarasi Jakarta. Terselenggaranya konperensi ini sendiri tak bisa dilepaskan dari figur Habibie - sebagai ketua ICMI dan Menteri Riset dan Teknologi - yang melahirkan slogan "iptek dan imtak" (ilmu pengetahuan dan teknologi, dan iman dan takwa)".
Majalah Islam yang berbasis di London Impact International menjadikan peristiwa ini sebagai laporan utamanya, dengan judul "Science and The Muslim World, Breaking the Self-Exile" (Januari 1997). Seperti ditulis di situ, dari segi jumlah dan keragaman pesertanya, konferensi ini bisa disejajarkan dengan Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada 1977. Masih dibutuhkan beberapa waktu sebelum arah dan efektivitas forum ini bisa dinilai. Namun melihat isi rancangan aksi tersebut dan dipilihnya Habibie sebagai ketua, telah tampak bahwa forum ini akan lebih pragmatis, dan mengikuti gagasan Abdus Salam dalam melakukan pemerataan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam daripada terlibat dalam pembicaraan teoretis tentang pembentukan ilmu-ilmu Islami.
0 komentar:
Posting Komentar
~ Komentar Agan sangat berarti untuk kemajuan blog ini ~